S P A S I

Rabu, 05 Februari 2020

This Too Shall Pass

Liburan akhir tahun ini terasa berbeda karena bisa kumpul dengan 2 anak kami yang sudah kuliah. Sekarang untuk bisa kumpul lengkap semakin banyak faktor yang mempengaruhi. Perubahan ini membuat saya menyadari bahwa hidup itu mengalir dan karena ia mengalir maka segala sesuatu bersifat sementara. Dalam sifat kesementaraan setiap kejadian dalam hidup, tidak ada yang bisa kita genggam selamanya. 

Ketika kita menyadari bahwa hidup adalah kesatuan dari dualitas: suka-duka, siang-malam, panas- dingin dan dualitas lainnya maka untuk menerima hidup secara utuh adalah dengan menerima dualitas tersebut secara utuh, tidak menolak salah satu sisi dan hanya menginginkan sisi yang lainnya. 

Ketika kita mengalami salah satu dari dualitas tersebut entah itu rasa duka yang dalam dari kehilangan orang terkasih, rasa suka karena mendapat rejeki, panas terik di siang hari dan rasa yang lainnya, sangat susah buat kita untuk melihat sisi yang lain. Saat itulah kita perlu menyadari bahwa apa yang kita rasakan saat ini bersifat sementara saja, "this too shall pass" begitu sebuah pesan dari guru kehidupan.

Dalam beberapa tradisi, kondisi sementara ini sering dianalogikan seperti kita menerima tamu di rumah kita. Saat seorang tamu berkunjung ke rumah kita, kita menyadari bahwa tamu tersebut hanya singgah sementara dan akan tiba saatnya untuk pamit pulang.  Begitu juga dalam hidup, suka dan duka adalah tamu-tamu yang sering berkunjung dalam keseharian kita dan selama kita menyadari bahwa tamu tersebut hanya singgah sementara maka kita akan menyelami secara total segala hal yang hadir, layaknya menjamu tamu dengan penuh rasa hormat. Dan kita pun merelakan ketika tamu tersebut meninggalkan rumah kita.

Analogi suka-duka seperti tamu ini seringkali menjadi tidak tepat saat kita masih belum memiliki kesadaran tentang keutuhan dari dualitas. Sifat sementara ini berlaku untuk kondisi suka dan duka, dan tidak hanya berlaku untuk kondisi yang tidak kita inginkan. Ketika kita hanya menerima sisi yang kita sukai, maka kita menderita saat tamu duka berkunjung ke rumah kita. Dalam penolakan tersebut, kita menenangkan diri dengan mengatakan bahwa semua akan berlalu, bahwa sebentar lagi tamu sukacita akan datang. Ungkapan "semua akan indah pada waktunya" bisa jadi kita gunakan bukan sebagai penerimaan akan hidup yang mengalir tetapi sebagai pelarian dari rasa tidak suka yang harus kita jalani dan berharap sukacita segera datang menggantikannya.

Ketika masih ada penolakan dalam diri, maka ketika sukacita datang maka kita menjadi takut  ia akan cepat berlalu. Sebaliknya jika dukacita datang maka kita ingin ia segera berlalu. Padahal tuan rumah yang baik adalah yang menjamu setiap tamu yang datang dengan penuh syukur.

Saat sukacita datang, seringkali kita lupa bahwa hidup mengalir, dan semua bersifat sementara. Kita ingin sukacita itu kekal adanya. Untuk itulah, beberapa Master selalu mengingatkan dalam perjalanan ke dalam diri untuk tidak terjebak dengan rasa apapun yang ditemui, tidak mengidentifikasi diri dengan rasa tersebut dan membiarkannya berlalu.

ketika sukacita hadir kita mengingatkan diri "this too shall pass"
ketika duka hadir kita juga mengingatkan diri "this too shall pass"
dengan begitu kita menerima untuk mengalir bersama hidup.

#keepwriting